Firman Subagyo: Ada Skenario Besar Matikan Sawit Nasional (1)

CPO DPR Firman Subagyo Fraksi Golkar Headline IPOP Komisi IV Sawit Terkini
Firman Subagyo. Foto: Yayat R Cipasang/KaparParlemen.com

JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM – Lima perusahaan sawit terbesar di Indonesia yang dikenal dengan The Big Five Company dengan congkak telah menekan perjanjian The Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Kontan perjanjian itu mendapat reaksi keras dari perusahaan menengah, kecil dan kalangan petani. Lima perusahaan besar itu  Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.

Larangan yang tercantum dalam IPOP itu di antaranya melarang ekspansi kebun sawit (no deforestasi), melarang kebun sawit di lahan gambut (no peatland). Kemudian, melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS) dan  melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability). Jelas, kriteria IPOP ini mencekik perusahaan kecil yang selama ini menyuplai Crude Oil Palm (CPO) ke lima perusahaan besar tersebut.

Reaksi keras pun datang dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan yang menyebut perjanjian yang ditandatangani lima perusahaan itu tidak masuk akal. Bahkan anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo menyebut kelima perusahaan itu sebagai pengkhianat dan tak tahu diri.

Untuk mendapat informasi lebih jauh dampak perjanjian IPO terhadap pengusaha lokal dan petani serta potensi tergerusnya pendapatan negara, wartawan KabarParlemen.com, Yayat R Cipasang dan Marwan Azis mewawancarai politisi senior Golkar ini di ruang kerjanya di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, belum lama ini.

Apa dampak yang paling siginikan akibat perjanjian IPOP yang diteken The Big Five Company?

Suatu saat, bangsa Indonesia ini hanya akan menikmati catatan sejarah. Bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang pernah memproduksi CPO terbesar dan kemudian menjadi salah satu negara penyuplai CPO terbesar ke Eropa Barat. Semua itu hanya akan menjadi cerita saja.

Kenapa demikian? Karena sekarang ini sudah terjadi indikasi-indikasi yang namanya sawit Indonesia dari sejak awal menjadi musuh bebuyutan minyak nabati. Amerika Serikat punya kepentingan besar untuk masalah itu. Juga negara-negara Eropa memiliki kepentingan besar yang sama.

Karena itu jangan kaget yang namanya CPO atau sawit Indonesia itu dengan berbagai macam cara dan upaya oleh negara-negara Barat dihadang. Mereka melakukan kampanye terhadap CPO.

Hanya masalahnya adalah kenapa pemerintah selalu terkesan lamban dan mengikuti irama permainan dunia internasional melalui perjanjian-perjanjian yang dikemas dengan pertemuan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau dalam konferensi lainnya. Ironisnya, pemerintah seolah menikmati jebakan-jebakan dalam setiap perjanjian itu.

Komoditi apa saja yang kini terancam dan selalu dihadang  Eropa juga Amerika Serikat?

Memang, indikasinya tidak hanya sawit. Banyak komoditi strategis kita yang terus dibendung dengan dalih berbagai perjanjian. Contohnya, pulp and paper. Swedia misalnya sangat takut karena di negeri Skandinavia itu sekali menanam puluhan tahun baru bisa dipanen. Sementara kalau di Indonesia lima tahun sudah bisa dipanen sehingga mereka tidak mampu bersaing dan itu ditakuti mereka. Kalau pertumbuhan pulp and paper berkembang sedemikian rupa maka industri mereka akan mati.

Selain melalui perjanjian yang menjerat, apa saja yang dilakukan asing untuk membendung komoditi strategis Indonesia di pasar internasional?

Tentu mereka melakukan desiminasi atau penyebaran isu strategis secara masif dan sistematis. Salah satu strategi mereka untuk melakukan kampanye hitam itu menggunaan instrumen lembaga swadaya masyarakat atau NGO asing yang ada di Indonesia. Mereka biayai dengan dalih riset dan sebagainya.

Isu strategis yang mereka gunakan sekarang ini adalah aspek lingkungan akibat kerusakan hutan. Saya sudah beberapa tahun yang lalu lewat Komisi IV meminta pemerintah termasuk di dalamnya badan intelijen (BIN) dan juga Polri harus segera melakukan penyelidikan terhadap NGO-NGO asing yang ada di Indonesia. Dalih mereka melakukan penelitian-penelitian patut dicurigai. Dan memang hari ini terbukti.

Kebakaran hutan hari ini sangat masif dan sistemik. Dalam pengamatan saya tidak pernah terjadi kebakaran seperti yang terjadi sekarang. Kebakaran sepertinya sudah direncanakan. Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan bahkan sampai ke Papua. Kebakaran di Aceh pun terjadi. Ini sangat luar biasa.

Bila pemerintah tidak hati-hati maka kita akan dilindas oleh kepentingan-kepentingan kaum kapitalis, kaum liberalis dan kita akan menjadi bangsa yang menjadi penonton di negeri sendiri.

Bagaimana sikap pemerintah sejauh ini atas perjanjian IPOP?

Alhamdulillah kami sudah sepaham. Kementerian Lingkungan dan Kehutanan sudah menolak. Menko Perekonomian juga menolak. Dan saya sudah menelpon Menteri Pertanian juga menolak. Saya bilang, Pak Menteri maju terus dan kami akan bersama-sama Anda. Kenapa perjanjian ini harus ditolak? Karena IPOP ini sebuah grand design untuk mematikan industri sawit nasional.

Seperti apa peta kepemilikan lahan sawit di Indonesia?

Lahan sawit itu 10,9 juta hektare. Sementara yang dikelola perusahaan-perusahaan besar hanya 3, 9 juta hektare. Mereka ini yang bergabung di Gabupangan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Dalam lahan 3,9 juta hektare itu terdiri atas 666 perusahaan. Artinya bahwa 7 juta hektare itu adalah rakyat dan pengusaha-pengusaha kecil lainnya. Bukan kelompok besar itu.

Nah kalau sekarang ini ada perjanjian IPOP yang ditandatangani oleh lima perusahaan besar yang notabene ada asingnya, ada kepentingan apa di dalamnya. Kalau kita baca dalam perjanjian IPOP itu kan misalnya tidak boleh menanam sawit di lahan gambut. Kalau perusahaan besar, memang tidak boleh karena dilarang. Justru mereka yang menanamkan sawit di lahan gambut adalah petani tradisional. Nah kalau itu yang terjadi yang 10 juta hekktare tadi di dalamnya adalah petani-petani kecil itu. Nah dia mau makan apa.  Hidup darimana.

Perjanjian itu jelas sangat merugikan masyarakkat. Yang besar itu kita atur. Tetapi jangan mematikan. Tapi justru dengan desain IPOP itu maka yang lolos dari perjanjian itu hanya lima perusahaan besar. kalau begini itu kan bentuk kartelisasi baru.

Apa bedanya yang sekarang ini dengan kedelai. Semuanya dikuasai mafia. Beras dikuasai sembilan samurai, gula dikuasi tujuh samaurai, sapi  dikuasai empat atau sepuluh semurai. Semua dikuasai kelompok tertentu yang menguasai market karena kita menganut sistem pasar bebas. Ketika menganut pasar bebas dan kita tidak punya proteksi ini akan sangat berat. Rakyat itu akan menderita. Konstitusi negara kita jelas mengamanatkan sumber daya alam dikuasai negara dan dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kalau yang menguasai komoditi strategis ini dibiarkan hanya lima perusahaan yang notabena ada asing dan sebagian sahamnya dikuasi oleh publik juga ada asingnya, sama saja sumber daya alam kita ini dikelola untuk kepentingan asing. Ini bertentangan dengan konstitusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *